Senin, 31 Agustus 2009

CITA-CITA SEPOTONG LILIN (Cerita untuk Lintang dan Justine sebelum tidur)

CITA-CITA SEPOTONG LILIN KECIL
Oleh Rini Giri


Di dalam sebuah almari kaca, tersimpan aneka lilin. Warnanya beraneka ragam. Bentuk dan ukurannyapun bermacam-macam. Ada yang dihiasi pita, bunga-bunga kering, benang emas, bahkan ada yang diberi wewangian.
“Nanti malam aku akan dipakai untuk menghias meja makan,” kata si lilin merah dengan bangga.
“Besok Minggu aku akan dipakai untuk menghias kue ulang tahun, lho!” Si lilin berbentuk angka mengatakannya dengan sombong.
“Aku akan dipakai untuk relaksasi,” ujar si lilin wangi tak mau kalah.
Di sudut almari, sepotong lilin kecil berwarna putih tanpa hiasan, tertunduk lesu. Dia sedih mendengarkan penuturan teman-temannya itu. Kenapa dirinya tidak pernah diberi tugas? Apakah karena bentuknya yang sederhana dan harganya yang murah? Dia jadi minder.
Bu Jaya, pemilik koleksi lilin, setiap hari membersihkan koleksinya. Lilin Kecil hanya digeletakkan begitu saja di sudut. Tidak dipedulikan. Jika ada tamu, Bu Jaya selalu memamerkan lilinnya yang indah-indah. Sementara Lilin Kecil dilupakan.
Lilin Kecil berpikir, mungkin dia akan diberi tugas jika sedikit berdandan. Maka dia memberanikan diri mendekati lilin yang dihisai bunga-bunga rumput kering.
“Bolehkah aku minta sedikit saja bungamu itu? Supaya aku bisa sedikit berdandan?” Tanya Lilin Kecil. Dengan angkuh lilin bunga rumput menghardiknya.
“Kalau aku sampai memberikan bungaku untukmu, bisa-bisa kecantikanku akan hilang! Kecantikanku itu penting, Lilin Kecil! Karena aku cantik, maka Bu Jaya sangat sayang padaku. Kamu jangan mimpi deh! Dari dulu, kamu memang sudah jelek. Jadi mau berdandan seperti apapun, tetap saja jelek!” Ejek lilin bunga rumput. Lilin Kecil menjadi semakin sedih. Lilin-lilin yang lainpun menolak memberikan sedikit hiasan mereka. Akhirnya Lilin Kecil kembali ke sudut almari dengan kecewa.
“Aku ingin sekali bisa menjadi lilin yang berguna seperti mereka. Alangkah senangnya jika aku dibutuhkan. Alangkah bahagianya jika aku bisa memberikan cahayaku. Pasti rasanya bangga sekali. Tapi mana mungkin? Aku hanya diletakkan di barisan paling belakang. Sama sekali tidak terlihat dari luar almari. Wajahku juga polos tanpa hiasan. Mana ada orang yang tertarik padaku?” Lilin Kecil menangis. Seolah sudah tak ada harapan lagi untuk mewujudkan cita-citanya.
Hari demi hari dilalui Lilin Kecil dalam kesendirian. Teman-temannya yang cantik tidak mau mendekat dan bergaul dengannya. Mereka takut kehilangan pamor dan dianggap sebagai lilin yang tidak berkelas. Maka Lilin Kecil hanya bisa memandangi teman-temannya yang setiap hari dirawat, sambil menelan ludah.
Lama-kelamaan, debu yang menempel pada tubuhnya kian banyak. Bahkan ada sarang laba-laba yang melilitnya. Dia tampak makin kusam dan tidak menarik. Teman-temannya semakin menjauh. Lilin Kecil hanya bisa berdoa, semoga suatu saat nanti dirinya bisa menjadi lilin yang berguna.
Malam itu Bu Jaya sedang sibuk mengerjakan tugas kantor. Dia sedang sibuk menulis angka-angka. Pekerjaannya membutuhkan ketelitian dan konsentrasi. Tapi tiba-tiba lampu listrik padam.
“Yah, padahal tugas ini harus segera selesai,” keluh Bu Jaya. Dia sedikit panik. Seluruh ruangan menjadi gelap. Dia tidak ingin pekerjaannya gagal hanya gara-gara listrik padam. Akhirnya dia membuka laci dan mencari lampu senter. Namun tidak ditemukannya. Dia hanya menemukan sebuah kotak korek api.
“Untung ada korek api, jadi aku bisa menyalakan lilin!” Ujar Bu Jaya girang. Mendengar ucapan itu, para lilin menjadi senang. Berarti mereka akan digunakan. Merekapun berdebat, siapa yang akan dinyalakan untuk menerangi meja kerja Bu Jaya.
“Pastilah aku! Tubuhku besar, pastilah nyalaku terang dan tahan lama!” Ujar sebatang lilin besar bergambar ukiran.
“Bukan, bukan! Pastilah aku! Aku panjang dan nyala apiku bersih, pasti aku yang dipilih!” Lilin panjang berwarna putih dengan tempelan gambar bunga mawar tak mau kalah.
“Siapa bilang? Pasti aku! Aku ditempatkan dalam wadah kaca sehingga tidak meleleh kemana-mana. Jadi, pastilah aku!” Dengan congkak lilin hias dalam wadah kaca itu menonjolkan diri.
Mendengar ucapan teman-temannya, Lilin Kecil menjadi ciut hatinya. Tidak punya harapan lagi. Mana mungkin Bu Jaya akan mengambilnya. Teman-temannya mempunyai kelebihan. Mereka hebat. Pastilah salah satu dari mereka yang akan terpilih. Dia hanya menundukkan kepala di sudut almari. Tanpa harapan.
Sebuah korek api menyala mendekati kaca almari. Para lilin segera memamerkan kehebatan masing-masing agar terpilih. Cukup lama Bu Jaya mencari-cari lilin yang cocok, tapi tidak ketemu juga.
“Lilin besar itu mengeluarkan asap yang kotor, lilin putih gambar bunga mawar cepat sekali meleleh, lilin dalam wadah kaca nyalanya kecil, sedangkan lilin yang memakai hiasan pita dan bunga sayang kalau dipakai. Dimana ya aku meletakkan lilin kecil warna putih itu?” Tangan Bu Jaya menggapai-gapai sudut almari. Mendengar namanya disebut, Lilin Kecilpun segera beranjak. Hatinya amat girang. Belum pernah dia merasa sebangga ini.
“Aku di sini!” Teriak Lilin Kecil. Teman-temannya mencibir karena iri.
“Oh, ini dia! Untung aku masih menyimpannya. Dia memang kecil tapi nyalanya terang dan bersih.” Ujar Bu Jaya. Diapun segera meraih lilin itu dan membersihan kotoran yang menempel.
Lilin Kecil dinyalakan sumbunya lalu diletakkan di tengah meja. Cahaya yang muncul dari tubuhnya menerangi seisi ruangan itu. Oh, inikah rasanya menjadi berguna? Senang sekali. Bisa memberikan sesuatu yang dimiliki untuk membantu orang lain. Lilin kecil tersenyum bangga. Walaupun begitu, dia tidak menyombongkan diri. Dia tetap tersenyum ramah kepada teman-temannya yang memandang dengan muka masam dari dalam almari.
“Terimakasih, Tuhan. Engkau telah mengabulkan doaku. Aku sudah menjadi lilin yang berguna. Jauhkanlah aku dari sifat sombong ya, Tuhan.” Sejenak Lilin Kecil memejamkan mata untuk bersyukur. Lalu menengadah dan melihat nyala api yang bergoyang-goyang indah di kepalanya. Dia bahagia karena Bu Jaya bisa melanjutkan pekerjaannya lagi. Meskipun tubuhnya terus meleleh dan kian pendek, dia senang. Dia telah membantu meringankan pekerjaan Bu Jaya.
“Untung ada lilin kecil ini, sehingga pekerjaanku bisa selesai tepat waktu.” Kata Bu Jaya. Tiba-tiba lampu listrik menyala kembali. Buru-buru Bu Jaya meniup lilin itu “Karena lampu sudah menyala, akan kusimpan lilin ini di tempat biasa. Kapan-kapan kalau lampu mati, akan kugunakan lagi.”
Malam itu Lilin Kecil bisa tidur nyenyak. Dia jadi tahu, setiap benda memiliki kegunaannya masing-masing. Dia mulai mengerti, bahwa dirinyapun punya kelebihan dibalik kekurangannya. Dia tidak merasa minder lagi.

Minggu, 30 Agustus 2009

PENGHARAPAN DAN DOA TIDAK PERNAH SIA-SIA (KUASA DOA vol 4, 7 Sept 2009)

PINTUPUN DIBUKAKAN BAGIKU
Dari Caecilia Rini Giri



Siang itu putri keduaku yang masih duduk di bangku TK A pulang dengan membawa hadiah. Satu tas jinjing kertas berisi boneka, satu pak kartu bahasa inggris, dan satu set alat mewarnai dari merek terkenal. Dia bilang baru saja memenangkan lomba menggambar di sekolah. Kupeluk dan kucium dia sambil mengatakan bahwa aku sangat bangga. Hatikupun bersyukur.
Paginya, saat kuantar dia ke sekolah, kutanyakan perihal hadiah itu pada guru kelasya. Ibu Guru itu memberiku ucapan selamat. Bahkan memberitahu bahwa putriku menjadi juara dua dari sekian ratus anak yang ikut lomba. “Gambarnya sudah bertema. Tarikan garisnya tegas dan mewarnainyapun rapi. Dia baru empat tahun, tapi sudah sangat menonjol prestasi gambarnya.” Ujar Ibu Guru sambil menunjukkan hasil karya anakku. Gambar rumah dengan pohon, taman, langit cerah, dan seorang anak perempuan memetik apel.
Air mataku meleleh. Ibu Guru sampai heran. Seharusnya aku tersenyum senang tapi kenapa malah menangis. Buru-buru kuhapus air mata dan berusaha tersenyum, lalu menjabat erat tangan Ibu Guru.”Terimakasih ya, Bu.” Ucapku, lantas buru-buru berlalu. Aku sangat bersyukur sampai-sampai bukan tawa lagi yang terlontar, melainkan tangis bahagia.
Betapa tidak, saat berumur dua tahun, putriku belum bisa berjalan. Padahal, anak tetangga yang sebaya sudah bisa berlari kesana-kemari. Dia susah makan dan mudah muntah sehingga tampak begitu kurus, matanya sayu, gampang sakit dan kakinya kecil serta lemas. Berat badannya terus menurun. Bahkan dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) yang diberikan Posyandu, berat badan anakku sudah nyaris menyentuh garis merah, yang artinya berat badan sangat kurang. Aku khawatir anakku lumpuh.
Saat itu aku sering menyalahkan diri-sendiri. Kenapa saat mengandung tidak doyan makan dan dilanda morning sickness terus-menerus? Kenapa aku tidak mau melawan rasa mual untuk meminum susu khusus untuk ibu hamil? Kenapa tidak mau mengalahkan rasa nek untuk meminum vitamin-vitamin yang diberikan dokter? Lihatlah akibatnya, anak yang kulahirkan menjadi kekurangan gizi dan pertumbuhannya tidak wajar. Air mata penyesalan tak ada guna. Sudah terlambat.
“Bapa, aku tidak pernah minta yang muluk-muluk. Aku hanya minta anak yang sehat. Tapi kenapa anakku sakit?” Protesku kala itu. Bahkan kadang setiap kali menyuapinya aku mengucap, “Dengan nama Tuhan Yesus.” Aku memaksa Yesus untuk melindungi usahaku sehingga makanan itu tidak dimuntahkan putriku. Tapi toh akhirnya muntah juga, dan aku kecewa.
Saat lahir pada 4 Februari 2004, dia tidak menangis, sampai-sampai bidan menjungkirkan tubuhnya dan menepuki pantatnya. Akhirnya dia menangis sebentar lantas lebih sering tertidur sampai aku kesulitan untuk menyusui. Sehabis menyusu pun dia mudah muntah padahal sudah disendawakan. Kata dokter lambungnya kecil, jadi perlu jarak dua jam untuk menyusui. Saat mulai mengenal makanan lembek pun dia gampang muntah. Sampai-sampai tubuhnya menjadi kurus sekali. Menu yang bisa masuk ke lambungnya hanya itu-itu saja, sehingga asupan gizinya tidak seimbang. Sebab jika diperkenalkan pada menu lain dia akan muntah-muntah hebat. Sampai menjelang masuk TK, makananya hanya bubur halus. Hanya itu yang bisa diterimanya tanpa muntah. Jika ada segelintir nasi saja yang tertelan, maka seluruh isi lambungnya akan keluar. Itu membuatku stress. Bahkan saking tertekannya, aku tidak pernah bisa menangis, padahal sangat ingin menangis.
Saat berumur satu tahun, bayiku belum bisa bangun sendiri. Dokter tumbuh kembang anak yang memeriksanya mengatakan, pertumbuhan motoriknya terganggu akibat gizi buruk. Otaknya tidak bisa memerintahkan syaraf-syaraf motorik untuk bekerja dengan baik. Bayi-bayi normal lain secara alami, akan menggunakan telapak tangan untuk menyangga tubuh jika akan jatuh. Bayiku tidak bisa melakukan gerakan naluriah yang paling dasar itu.
Orang-orang yang melihat anakku selalu merasa prihatin. Ibu-ibu lain pasti sangat bangga jika bayinya dicolek atau digemesin karena sehat dan montok. Sedihnya hatiku karena tidak ada orang yang mencolek atau gemas pada putriku. Semua orang selalu tampak prihatin karena kondisi bayiku yang memelas. Bahkan ketika ibu mertuaku bertandang, beliau malah menangis saat melihat cucunya dan membuatku tambah sedih.
“Anak saya tidak kena folio kan, Dok? Anak saya tidak lumpuh layuh kan, Dok?” Ketakutanku teramat dalam.
“Anak ibu belum terlambat untuk ditangani. Kita harus memperbaiki gizinya dulu. Usahakan makan sedikit-sedikit tapi sering sehingga tidak mudah muntah. Saya berikan vitamin untuk merangsang nafsu makannya. Susunya juga diganti dengan susu khusus, supaya kebutuhan gizinya tercukupi. Setelah tubuhnya lebih kuat, anak ibu bisa diterapi. Otaknya harus diberi memori tentang cara-cara bangun, duduk, jongkok, berdiri, kemudian berjalan. Sabar ya, Bu. Prosesnya akan lama. Tapi jika kontinyu, anak ibu pasti tertolong.” Beban hatiku sedikit teringankan. Ada secercah harapan.
Aku harus meluangkan banyak waktu untuk menyuapi bayiku. Harus sabar mendampinginya menerima susu formula baru yang diresepkan dokter. Akupun dituntut untuk setia memeriksakan putriku secara rutin.
“Maafkan aku telah menyangsikan-Mu, Bapa. Kauberi aku jalan. Terimakasih” Ucapku dalam doa malam ketika berat badan anakku mulai bertambah. Bayiku dinyatakan siap untuk mengikuti terapi. Pemberian nutrisi otak dengan obat yang mengandung piracetam pun dimulai.
Terapi dilakukan dua kali seminggu. Senin dan Kamis. Diawali dengan memiringkan tubuh anak, menapakkan tangannya ke matras, lantas pelan-pelan memutarnya ke depan agar bisa duduk. Ruangan ber-AC sejuk, matras bersih, ruangan dengan gambar warna-warni dan terapist yang ramah membuat anakku betah dan tidak rewel selama latihan dan penyinaran. Aku harus mengulang-ulang gerakan itu di rumah agar otak anakku merekam gerakan-gerakan itu, sehingga saatnya nanti bisa melakukan sendiri tanpa bantuan. Tiga bulan kemudian, dia bisa duduk sendiri.
Proses pengobatan itu cukup menguras keuangan keluarga. Setiap datang untuk terapi, sedikitnya seratus delapan puluh ribu rupiah harus keluar. Belum termasuk menebus resep obat, vitamin, dan susu khusus. Batinku menjadi ciut. Sanggupkah aku dan suamiku melalui tahapan-tahapan terapi sampai putri kami benar-benar bisa berjalan? Sementara penghasilan suamiku hanya cukup? Memang segala pengeluaran pengobatan keluarga bisa mendapat ganti 60% dari kantor, tapi kan tetap harus keluar uang dulu.
Tiada henti aku berdoa. Aku yakin, Tuhan akan memenuhi kebutuhanku. Hingga suatu hari aku mencari informasi ke rumah sakit negeri, ternyata di sanapun terapi semacam itu bisa dilakukan. Tentu saja ongkosnya jauh lebih murah. Bahkan hanya seperempatnya saja. Harapan baru muncul kembali.
Aku rela mengantri berjam-jam untuk mendaftar, membayar biaya pengobatan di loket dan menunggu giliran dipanggil di depan ruang terapi. Tentu saja ruangannya kini tidak ber-AC, tidak ada gambar warna-warni yang disukai anakku, matrasnya usang, pelayanan para medisnya tidak seramah yang dulu, dan harus mau berdesak-desakan dengan pasien lain yang jumlahnya bejibun. Tapi aku terus menguatkan hati. Semua kulakukan demi kesembuhan buah hati kami. Mungkin aku kuat untuk menunggu berjam-jam sebelum dipanggil ke ruang terapi, tapi tidak dengan putriku. Kadang dia sudah terlanjur kelelahan menunggu sebelum jatuh gilirannya untuk mengikuti terapi.
Di rumah sakit negeri, putriku mulai belajar posisi merangkak, dilanjutkan dengan posisi jongkok, lantas dilatih berdiri. Dia tidak pernah mau merangkak, tapi mengesotkan pantat dan kakinya setiap kali ingin berpindah tempat. Perkembangannya memang sangat lambat. Setiap posisi atau gerakan dasar kira-kira dibutuhkan waktu tiga bulan untuk bisa melakukan sendiri tanpa bantuan. Tapi aku terus bertahan dan berusaha tersenyum penuh syukur.
Suatu ketika, saat sedang menjalani terapi di atas matras, bayiku muntah. Tambah kotorlah matras untuk umum itu. Seorang perawat marah-marah. Dia menegurku dengan nada tinggi. “Lain kali kalau mau terapi, anaknya jangan disuapi dulu!” Katanya. Kami sudah menunggu begitu lama sedari pagi sampai tibalah waktu untuk makan siang bagi anakku. Apa aku akan membiarkannya tidak makan sampai terapi selesai? Tentu aku tak sampai hati membiarkan dia lapar. Ruangan menjadi kotor dan bau. Berulang-ulang aku minta maaf. Buru-buru kubersihkan bekasnya dengan selendang yang biasa kupakai untuk menggendong putriku. Di tempat itu tidak ada lap atau tisyu.
Bayiku mengalami trauma sejak kejadian itu. Dia ketakutan, menangis keras, dan mengamuk jika diajak ke ruang terapi. Akhirnya terapist-pun kesulitan untuk melatihnya. Bahkan ketika baru sampai di pintu gerbang rumah sakit, dia sudah meraung-raung minta pulang. Aku jadi bingung dibuatnya.
Karena tidak tega pada anakku, aku tidak pernah datang ke rumah sakit lagi. Untuk kembali ke rumah sakit swasta yang dulu, aku tidak yakin dengan kondisi keuangan kami. Aku sempat kehilangan semangat dan dilanda kekhawatiran. Jangan-jangan putriku tidak bisa berjalan jika terapi itu dihentikan. Akhirnya aku melatihkan gerakan-gerakan, yang pernah diajarkan oleh terapist pada putriku di rumah. Sedikit demi sedikit, sesuai kemampuannya.
“Bapa, aku percaya, bahwa tidak ada usaha yang sia-sia. Engkau pasti selalu memperhatikan usahaku demi kesembuhan anakku. Aku tahu, Engkau mencintai umat-Mu yang mau berusaha. Aku serahkan semua usahaku ini hanya pada-Mu ya, Bapa. Aku percaya Engkau tidak akan berpaling dariku. Hanya pada-Mu aku berharap, Bapa.” Aku percaya, Bapa tidak pernah memberi harapan kosong.
Saat perayaan Natal 2005 di lingkungan, Sinter Klas bertanya,”Justine, apa yang menjadi harapanmu di Natal ini?” Aku sebagai ibunya mewakilinya menjawab,”Dia ingin cepat bisa jalan, Om Sinter Klas.” Tokoh itupun kaget. Masa ada anak umur dua tahun belum bisa jalan? Diapun buru-buru menyalami tangan kecil anakku sambil berkata,”Semoga Tuhan Yesus mendengarkan doa dan harapanmu ya, Justine.” Amin, jawabku.
Dan keajaiban itupun datang. Maret tahun 2007, saat putriku berusia dua tahun satu bulan, dia berjongkok, memegang kedua lututnya, mengangkat tubuhnya, berdiri sempoyongan, lantas melangkah dua kali ke arahku dan jatuh. Aku terbelalak melihatnya.
“Puji Tuhan!” Aku semakin percaya, pengharapan yang disertai doa dan usaha, tidak pernah sia-sia. “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah maka pintu akan dibukakan bagimu” (Mat 7:7) Terimakasih Tuhan, Kau dengar suara ketukanku dan Kaubukakan pintu untukku. Tuhan selalu memberi kesempatan pada umat-Nya untuk berusaha, supaya mereka semakin kuat, tambah dewasa jiwanya, dan tidak lupa diri atas keberhasilan yang dicapainya. Itu yang kurasakan. Tuhan menyertai segala usaha manusia, namun semuanya butuh proses, tidak serta-merta datang seperti sulap. Justru proses itulah yang membuat manusia semakin menemukan dirinya sebagai yang berarti dan berharga. Hasil memang penting, tapi tak ada maknanya jika tanpa proses usaha dan campur tangan Tuhan sendiri.
Kini Justine sudah berumur 5,5 tahun dan duduk di bangku TK B. Badannya memang tidak bisa gemuk, larinyapun tidak sekencang anak-anak lain, bahkan jika sedang bermain dan ada anak yang lebih agresif dia memilih untuk menyingkir karena takut tersenggol dan jatuh. Namun kemampuan motorik halusnya luar biasa. Apalagi dalam hal menggambar dan mewarnai. Bahkan dalam beberapa kali pentas tari Natal dan HUT Kemerdekaan RI di lingkungan tempat tinggal kami, dia selalu di barisan depan karena paling cepat hafal gerakannya dan bisa ditiru teman yang lain. Matanya bulat dan berbinar cerdas. Aku yakin, itulah keadilan Tuhan. Diapun kini mulai belajar makan nasi dan makanan padat lainnya, tanpa muntah.
“Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya.” (Mat 7: 11) Kesembuhan Justine adalah pemberian Bapa yang terbaik dalam hidupku. Aku memintanya, dan Dia memberikan padaku. Jumlah waktu selama satu tahun satu bulan pengobatan dan terapi itu, dulu kulalui dengan sangat berat. Tapi itu tak ada artinya dibanding dengan hikmah Kasih Tuhan kepada keluarga kami. Aku belajar sabar, setia, lebih mencintai keluargaku, dan kamipun jadi team work yang kompak. Terimakasih, Bapa.

Sabtu, 29 Agustus 2009

BERAKHIRNYA SEBUAH PERSAINGAN (HIDUP no 41 tahun ke-61 14 Oktober 2007)

BERAKHIRNYA SEBUAH PERSAINGAN
Oleh Rini Giri

Berto dan Siska sama-sama lulusan dari sebuah universitas negeri terkemuka di Negara ini. Keduanya diwisuda dengan predikat Cuma laude dan meraih nilai terbaik di jurusannya. Kini, Berto bekerja sebagai dosen di almamaternya dan sedang melanjutkan kuliah ke strata dua. Istrinya, Siska, menjadi reporter di sebuah majalah wanita terkenal di Ibu Kota.
Tahun pertama, hubungan mereka lancar dan harmonis. Masing-masing sibuk dengan pekerjaannya. Sejoli itu bisa mengembangkan diri sesuai dengan bakat dan minat masing-masing. Namun ketika pada tahun ketiga Siska melahirkan anak pertama, mau tidak mau dia harus rela melepaskan pekerjaan yang menjadi cita-citanya sejak kecil! Bayi mereka tidak bisa minum susu formula sehingga harus bergantung pada susu ibu (ASI)! Sungguh merepotkan!
Siska mulai sering uring-uringan menghadapi situasi seperti itu. Dia menjadi semakin stress ketika teman-temannya menelpon dan menyayangkan keputusannya untuk mengundurkan diri. Ayahnyapun pernah menyatakan rasa kecewanya karena sudah membiayai sekolah tinggi-tinggi tapi akhirnya masuk dapur juga! Ibu muda itu benar-benar mengeluh, kenapa tidak ada yang bisa mengerti posisi sulitnya! Anaknya tidak bisa ditinggal kerja!
“Sudahlah, Ma, bukankah anak jauh lebih penting dari apapun juga? Kebutuhan kita juga sudah tercukupi dari gajiku. Lagipula, setelah anak kita berumur dua atau tiga tahun, kamu bisa bekerja lagi.” Berto memberi penghiburan. Kata-kata suaminya cukup menguatkan hatinya.
Setahun telah berlalu, kini prestasi dan karier Berto semakin gemilang. Pergaulannya semakin luas dan semakin dihormati di kampus. Melihat itu semua, Siska menjadi iri hati. Terlebih jika bertemu dosen-dosen wanita teman sekerja suaminya saat ada arisan. Seharusnya dia bisa berkarier gemilang seperti mereka! Satu tahun tinggal di rumah telah menjauhkan dirinya dari teman-teman dan lingkungan yang serba produktif dan professional. Pergaulannya menjadi sempit, ilmunya menjadi mandeg, wawasannya ciut, dan mulai ada perasaan minder di hatinya. Dia bukan hanya iri pada suaminya tapi juga menjadi minder! Siska merasa dirinya benar-benar selevel dengan pembantunya. Hanya mengurus anak, membereskan pekerjaan rumah tangga, dan nonton sinetron atau infoteiment!
“Pa, aku mau kerja lagi!” Katanya pada suaminya suatu hari.
“Apa sudah siap untuk meninggalkan anak kita dan membiarkannya diasuh pembantu?”
“Harus siap, Pa. Kalau tidak nekat nanti aku keburu tua dan tidak laku di bursa kerja. Apalagi teman-temanku sudah jadi redaktur semua. Aku harus mengejar ketinggalanku.”
“Apa kamu benar-benar tega untuk menyapih anak kita?”
“Pa, jangan menyudutkan aku terus dong! Laki-laki bisa tega meninggalkan anaknya di rumah demi kariernya, kenapa perempuan tidak?” Berto hanya menarik nafas dalam. Dia tidak mau berdebat lagi karena tekat Siska begitu bulat. Seminggu kemudian Siska mulai bekerja sebagai koordinator liputan pada sebuah surat kabar ternama. Tugasnya menuntut dirinya untuk sering pulang larut malam. Saat berangkat kerja, anaknya belum bangun dan setelah pulang anaknya sudah tidur. Lama-kelamaan anaknya lebih lengket kepada pembantunya dan merasa tidak butuh ibunya. Pada awalnya Siska merasa sedih, tapi lama-lama situasi itu justru menguntungkan dirinya. Karena saat harus tugas ke luar kota, anaknya tidak perlu rewel!
Hari Minggu, mertuanya datang dan menginap. Otomatis keluarga adik iparnyapun datang. Kebetulan anak adik iparnya sebaya dengan anaknya. Ketika pamer kebolehan, anak berusia dua tahun itu sudah pintar berdoa, pandai menyanyikan lagu-lagu sekolah minggu, dan bicaranyapun sudah banyak dan jelas. Sementara itu, anaknya hanya diam, takut pada orang baru, dan sesekali rewel jika pembantunya sibuk di dapur. Adik iparnya begitu bangga pada anak balitanya. Sedangkan Siska, apa yang bisa dibanggakan dari anak yang pendiam, penakut, dan sering rewel? Siska kecewa sekali.
Sejak punya anak, adik iparnya memang dengan kesadaran penuh lebih memilih mendidik anak ketimbang mengejar karier. Tentu saja anak yang diasuh oleh ibunya sendiri akan jauh memiliki kemajuan dibanding anak yang diasuh pembantu. Semakin tinggi pendidikan si pengasuh bukankah akan semakin banyak kemampuan yang bisa ditransfer kepada anak?
Lama sekali Siska merenungkan hal itu. Untuk apa dia harus mati-matian menyaingi karier suaminya jika akhirnya anaknya sendiri yang menjadi korban. Dia mulai menyadari, suami memang bukan sosok untuk disaingi. Meskipun dulu mereka bersaing di bangku kuliah, bersaing meraih popularitas di kampus, bersaing siapa yang bakal lulus duluan, bersaing mendapatkan nilai A pada setiap mata kuliah, namun kini situasinya jauh berbeda. Mereka bukan teman kuliah lagi, melainkan sudah menjadi suami-istri.
Siska diingatkan pada isi Kitab Kejadian. Bukankah Allah menciptakan wanita sebagai penolong yang sepadan bagi pria? Adam dan Hawa diciptakan tidak untuk saling bersaing. Mereka diberi tugas dan posisi masing-masing sesuai dengan rencana Sang Pencipta, yaitu memenuhi bumi dan menakhlukkannya.Bagaimana bisa pria dan wanita menguasai bumi jika saling bersaing? Mereka harus saling menolong. Tuhan menciptakan mereka sama-sama menurut gambar dan citra Allah. Keduanya sama-sama diberkati oleh-Nya. Mereka sudah mempunyai kedudukan yang sepadan semenjak diciptakan. So, buat apa bersaing? Buat apa wanita sibuk mencari kesetaraan jika sejak dibentuk dari tulang rusuk pria, dirinya sudah sepadan dengan pria?
Pria akan meninggalkan keluarganya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging. Dalam satu daging, mana mungkin kehidupan harmonis bisa terselenggara jika anggotanya saling bersaing? Bisa-bisa jadi duri dalam daging! Masing-masing sudah diberi tugas sesuai rencana Allah. Bukankah yang lebih penting untuk diusahakan adalah saling mengasihi, saling menghargai, saling menghormati, dan saling mendukung, sehingga tidak akan ada penindasan atau sikap superior antara yang satu terhadap lainnya?
“Pa, aku mengundurkan diri dari pekerjaanku.” Siska memberitahu suaminya dengan hati-hati. Dia tidak mau dianggap plin-plan.
“Kenapa?”
“Anak kita jauh lebih penting. Toh di rumah aku masih bisa baca buku, browsing internet, dan bikin tulisan untuk kukirim ke media cetak. Jadi talentaku tetap bisa berkembang dan anak kita tidak akan ketinggalan lagi.” Suaminya tersenyum bahagia mendengarkan kebijaksanaan istrinya itu. Hati Siska pun berbunga karena akan semakin dekat dengan buah hati mereka. (Rini Giri, Bekasi Utara, 2007)

Tangisan Si Gadis Rantang (HIDUP no.12 tahun ke-62 23 Maret 2008)

TANGISAN SI GADIS RANTANG
Oleh Rini Giri

Di kota kabupaten tempat aku tinggal, terdapat sebuah gereja paroki. Para pastur yang berkarya di paroki itu tinggal di sebuah pasturan di belakang bangunan gereja. Sehari tiga kali aku datang ke sana untuk mengantar rantang berisi makanan yang akan disantap para pastur. Umat paroki mempercayai catering ibuku untuk menyediakan hidangan sehari-hari bagi para pastur itu.
Tugas mulia ini sudah aku jalani sejak masih kelas satu SMP dulu. Sekarang aku sudah kuliah semester lima dan bertambah sibuk, tapi aku tetap setia menjalankan tugasku sebagai pengantar rantang. Sambil mengantar makanan, aku bisa kenal lebih dekat dengan para pastur maupun petugas sekretariat gereja lainnya.
“Mbak Ririn adalah orang yang paling ditunggu-tunggu,” seloroh Pak Mardi, koster gereja, saat aku masuk ke dapur pasturan pada suatu siang.
“Memangnya kenapa, Pak?”
“Kalau mbak Ririn belum datang, para pastur gelisah,” jawabnya.
“Kok?”
“Habis, kalau rantang yang dibawa Mbak Ririn belum sampai, mereka belum bisa memulai kegiatan.” Pak Mardi tertawa geli. Akupun ikut terkekeh. Seperti biasanya aku membantu koster itu menata hidangan di meja makan. Hidangan dibagi dua. Sebagian untuk Romo Galih, Ketua Dewan Paroki, dan sebagian lagi untuk Romo Seto. Khusus untuk Romo Galih, ibuku memasakkan hidangan yang rendah kalori dan rendah gula. Maklum, pastur yang sudah memasuki usia senja ini punya penyakit diabetes militus. Sedangkan untuk Romo Seto, tidak ada pantangan atau diet khusus.
“Kok kelihatannya buru-buru, Rin?” Tanya Romo Galih sewaktu berpapasan denganku di ruang tamu. Beliau baru pulang dari memberikan sakramen perminyakan kepada warga yang sakit di salah satu lingkungan.
“Ada kuliah siang, Romo. Saya permisi dulu ya. Mohon berkat Tuhan.” Akupun meraih tangan tua itu dan kucium. Di kota kabupaten pedalaman seperti ini, seorang pastur memang sangat dihormati. Cium tangan merupakan suatu kebiasaan umat untuk menunjukkan rasa hormat dan cintanya pada sang gembala.
“Hati-hati ya. Tuhan memberkati. Belajar yang benar, biar hidupmu sukses. Sekarang kamu jadi pengantar rantang, lima atau sepuluh tahun lagi aku ingin melihatmu jadi eksportir makanan siap santap,” pesan Romo Galih dengan sedikit humornya. Akupun tertawa. Romo Galih dan Romo Seto memang sudah seperti temanku sendiri. Kami sering ngobrol, berkelakar, dan berdiskusi. Namun begitu, rasa hormatku kepada mereka tetap selalu kujunjung tinggi.
Kedekatanku dengan Romo Seto harus berakhir karena beliau dipindahkan ke paroki lain. Sebagai gantinya, datanglah seorang pastur muda yang baru saja ditahbiskan. Namanya Romo Adi. Orangnya ramah, supel, bijak, dan humoris. Bonusnya, wajahnya rupawan. Romo baru ini langsung populer di kalangan Mudika dan kelompok Legio Maria. Setiap mereka mengadakan kegiatan, pastilah Romo Adi yang diminta untuk mendampingi. Akupun cepat akrab dengan pastur baru ini. Dia menjulukiku Si Gadis Rantang. Bahkan Romo Adi mempercayaiku sebagai penunjuk jalan jika melakukan kunjungan pastoral ke pelosok-pelosok lingkungan yang belum dikenalnya.
Rupanya kedekatanku dengan Romo Adi menimbulkan desas-desus yang kurang sedap. Aku digosipkan punya hubungan khusus dengannya. Hal yang lebih menyakitkan lagi, aku dikira sengaja menggoda pastur yang begitu baik itu. Seorang teman Ibuku bahkan memperingatkan dengan keras agar anak gadisnya ini menjauhi sang pastur karena di parokinya dulu sempat terjadi aib dimana seorang pastur terpaksa menanggalkan jubah demi menikahi wanita yang terus-menerus mendekatinya.
“Tidak mungkin lah, Bu. Aku sangat menghormati Romo Adi. Dia itu gembala umat yang dipanggil sendiri oleh Tuhan. Mana mungkin aku akan menjadi penghalang bagi pekerjaan Tuhan di dunia ini,” jawabku ketika Ibu mempertanyakan kebenaran desas-desus yang sangat memalukan bagi keluarga kami itu.
“Ibu percaya sama kamu, Rin. Tapi mulai sekarang, untuk menghindari fitnah yang lebih kejam lagi, kamu harus mengurangi kedekatanmu dengan Romo Adi.” Aku tahu, Ibuku juga kasihan pada pastur muda itu. Jangan sampai kabar-kabar bohong dari orang-orang yang iri dan dengki ini bisa menjadi kendala baginya untuk melayani umat. Baiklah, aku akan mundur. Kedekatan pastur dengan umatnya memang harus dalam porsi yang wajar. Aku tidak mau jadi pengantar rantang lagi. Biar tugas itu dilakukan pembantu ibuku.
“Pak Mardi, mulai besok, rantang akan diantar pembantu kami. Tolong diingat diet Romo Galih ya, Pak. Jangan sampai menunya tertukar dengan milik Romo Adi. Ingat ya, Pak, minum Romo Galih itu teh tawar. Jangan sampai lupa,” pesanku pada koster di hari terakhir aku mengantar rantang. Pak Mardi hanya mengangguk. Aku tahu dia merasa sedih karena tidak ada lagi yang membantunya menata meja makan pastur. Padahal sudah hampir selama sembilan tahun terakhir ini aku adalah mitra setianya. Dia juga sedih karena tahu bahwa segala berita yang tidak mengenakkan itu adalah bohong belaka.
Sejak saat itu aku jarang muncul di pasturan. Aku tidak ingin omongan-omongan yang tidak benar semakin merajalela dan menjatuhkan nama baik Romo Adi maupun merongrong kehidupanku. Romo Galih dan Romo Adipun memaklumi tindakanku. Bahkan merekapun membantu membersihkan nama baikku dengan memberi penjelasan seperlunya kepada umat. Semoga lambat-laun umatpun menyadari bahwa yang mereka dengar hanyalah gosip murahan dan fitnahan orang dengki belaka.
Semester tujuh ini aku mengikuti Kuliah Kerja Nyata di suatu pedusunan di lereng gunung. Telepon sama sekali tidak ada di sana. Telepon selularpun tidak bisa digunakan karena tidak ada sinyal. Alat komunikasi yang bisa kami andalkan adalah surat dan e-mail. Namun, surat bisa datang terlambat dan e-mail baru bisa kami akses jika dosen atau koordinator tingkat kecamatan datang membawa laptop.
“Rin, ada e-mail dari adikmu. Maaf ya, sepertinya agak terlambat. Baru masuk tadi pagi.” Koordinator tingkat kecamatan tampak mendung ketika mulai membuka laptopnya. Siang itu dia sengaja datang ke dusun kami hanya untuk mengantar berita itu. Diapun segera menyodorkan laptopnya dan membukakan e-mail untukku.
“Mbak, Romo Galih sudah berpulang malam ini. Gula darahnya naik terus dan sempat masuk rumah sakit selama tiga hari. Kata Dokter, beberapa bulan terakhir dietnya kacau. Misa requem untuk beliau diadakan esok pagi jam 10.00. Apa Mbak Ririn bisa pulang? Salam dan doa, adikmu, Riana.” Tiba-tiba dadaku menjadi sesak, jemariku mengepal, mukaku memanas, bibirku menggigil, dan air mata tidak bisa kubendung lagi. Akupun berteriak histeris. Menangis dan sulit berhenti. (Bekasi Utara, 2007)

YESUS FILTER HIDUPKU (Warta Klara 30 Agustus 2009)

YESUS FILTER HIDUPKU
Oleh C. Rini Giri

Apa yang terucap dan ditunjukkan dalam perilaku, ternyata mencerminkan apa yang dipunyai. Jika perbendaharaannya baik, maka yang terluncur dari mulut dan tertuang dalam tindakan adalah hal-hal yang baik. Sebaliknya jika perbendaharaannya minus, maka kata-kata yang terlontar dan perilaku yang tampak juga kurang terpuji.
Jika saya sedang rajin membaca Alkitab, maka saya akan terisnpirasi untuk menulis hal-hal yang berjiwa rohani. Tapi ketika saya sedang iseng membaca bacaan kurang bermutu, maka yang saya tulispun sumpah serapah. Apa yang keluar dari diri benar-benar berasal dari perbendaharaan yang tersimpan dalam hati dan pikiran. Apa yang memancar dari diri adalah apa yang menjadi perasaan dan pandangan.
Mungkin kadang bisa berakting di depan orang lain, beda di dalam beda pula di luar. Alias pakai topeng. Tapi akan bertahan berapa lama? Lambat laun akan capek menipu diri sendiri dan orang lain. Orang lain, selugu apapun, juga mampu membaca mata dan mengenali bahasa tubuh. Merekapun akan tahu jika ternyata isi hati dan ucapan tidak sinergi. Atau pikiran dan tindakan tidak sejalan.
Dunia ini dilengkapi dengan dua sisi yang berseberangan. Kutub baik-kutub buruk, halal-haram, sejati-palsu, jujur-dusta, rendah hati-congkak, dan sebagainya. Celakanya kelima indera mampu menangkap dan menyerap semuanya. Bisa melihat kebaikan tapi juga menatap kejahatan. Bisa mencium kedamaian tapi juga membaui permusuhan. Bisa mendengar kejujuran tapi juga menguping kebohongan. Bisa mencecap perilaku halal tapi juga merasakan perilaku haram. Bisa meraba ketulusan tapi juga menyentuh kedengkian.
Namun apa yang ditangkap panca indera, tidak semuanya harus menjadi perbendaharaan. Manusia berhak untuk memilah dan memilih. Kalau yang dipilih dan disimpan dalam brankas adalah hal baik, maka kelak yang dibagikan pada orang lain juga kekayaan yang baik itu. Tapi jika yang disimpan dalam tabungan hal yang tidak baik, maka bagaimana mungkin akan menaburkan hal baik sementara tak punya simpanan yang baik?
Yesus berkata : “Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya.” Mark 7:15. Rupanya kita butuh filter untuk menyaring semua hal yang terserap. Sebab semua hal bisa mempengaruhi kita. Jika pandai menyaring, maka hanya yang baik dan benar saja yang tersimpan dan dikeluarkan dalam ucapan dan tingkah laku. Jika tepung sudah diayak dan disimpan dalam kantong, bukankah siap dijadikan kue lezat? Tapi jika mengayak pasir dan lebih memilih kerikil yang tersisa di atas saringan, bukankah akan menyandung kaki suatu saat?
Semua kejahatan dunia yang mempengaruhi dan tidak berguna, biarlah tidak masuk ke dalam hati. Cukup masuk ke perut dan dibuang ke jamban. Sebab jika dibiarkan masuk ke dalam hati dan suatu saat dikeluarkan, maka akan menajiskan. Orang lain bisa terluka dan tersakiti kareanya.“Apa yang keluar dari seseorang itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan.” Mark 7:20-22.
Ya, Yesus, jadilah Engkau filter bagi hidupku. Sehingga aku bisa memilah dan memilih hal baik yang layak menjadi kekayaan rohaniku. Sehingga aku tidak akan dinajiskan oleh sesuatu yang kotor yang keluar dari mulut, kaki, dan tanganku. Amin.

SAHABAT PENA DARI SIBERUT (HIDUP No 22 tahun ke-61 14 Oktober 2007)

SAHABAT PENA DARI SIBERUT
Oleh Rini Giri


“Siapa aku? Anak hutan belantara yang biasa bermain dengan alam dan bergurau dengan hijaunya dedaunan. Ya, berbeda sekali dengan dirimu yang tinggal di kota dengan mobil dan bangunan megah yang kau sebut dengan apa itu…mall?
Rumahku? Aku tinggal di dalam uma di tengah rimba. Rumah panjang untuk ditinggali keluarga besar kami. Kau pernah cerita soal rumah tradisional joglo di daerahmu itu kan? Yah, boleh dibilang uma itu rumah tradisional kami.
Hobiku? Hobiku berburu. Aku sudah mengenal kegiatan ini selagi masih orok…ha… ha…ha…Kami sudah bisa membuat busur dan anak panah sendiri sejak kecil. Ujung anak panah kulumuri racun mematikan dari kulit kayu dan akar tumbuhan khusus. Tapi tenang saja, kau tak perlu takut bergaul denganku. Berburu adalah kebanggaan lelaki Mentawai sepertiku. Kami punya etika dalam berburu kok.
Kau tahu letak Pulau Siberut kan? Di lepas pantai barat Sumatera. Di Kepulauan Mentawai. Pulau Siberut yang terbesar dan paling utara dari kepulauan itu. Keluargaku tinggal di kota kecamatan bagian tenggara dari pulau itu, namanya Muarasiberut. Jauh sekali dari Kota Semarang-mu bukan?
Makanan kami? Kami makan sagu hutan. Berlauk ikan, daging binatang buruan, atau tempayak. Kau pasti belum pernah mencicipi gurihnya tempayak. Binatang kecil itu muncul dari dalam pohon sagu yang dibelah dan dibiarkan selama beberapa minggu. Proteinnya tinggi.
Ah, tapi aku sedih menceritakan semua itu padamu. Itu hanya tinggal kenangan yang diceritakan Bajaj (ayah) padaku. Semua yang kupaparkan itu bukan masa kecilku, tapi masa kecil Bajaj. Aku sudah tidak mengenal uma lagi, tapi tinggal di perkampungan. Jangankan punya panah beracun dan membidik babi hutan, berburupun sekarang dilarang keras dan senjata-senjata tajam dirazia. Hutan dibabat para cukong. Tapi kami yang dituding telah merusak ekosistem, menjarah hutan, dan melakukan perburuan liar. Aku sudah tak pernah makan sagu, makananku beras seperti orang Jawa. Dan kami, anak-anak di kecamatan-kecamatan telah belajar di sekolah-sekolah yang didirikan para misionaris. Orang luar bilang, orang Mentawai itu suku primitif yang harus dibikin beradab. Mereka datang dengan pembangunan dan telah merusak hidup kami. Tatanan adat hilang, tradisi leluhur dilarang, kami harus meninggalkan agama nenek moyang dan berganti agama baru yang diijinkan pemerintah, hutan belantara tempat kami menyandarkan hidup dibabat habis, dan kami harus menyingkir dari uma seperti siput yang dicopot dari cangkangnya.
Sudahlah, mungkin harus begitu supaya modern. Selalu butuh tumbal. Tapi dengan bersekolah aku bisa membaca, menulis, mengetahui dunia luar, termasuk mengenal dirimu yang jauh. Dari Pastur Kepala Sekolahlah aku mendapat majalah yang memuat berita tentang keberhasilanmu menjadi Siswa Teladan SMA Tingkat Nasional. Sehingga aku bisa kenalan denganmu. Jangan berhenti mengirim surat padaku ya, karena dengan itu aku bisa melihat dunia…”
Itu isi surat kedua dari sahabat penaku di Siberut. Kuterima awal Januari 1990. Lantas di akhir bulan, kutulis padanya, bahwa pembangunan justru meningkatkan kesejahteraan, kemakmuran, kesehatan, dan pendidikan warga. Jadi janganlah memandang buruk pembangunan. Coba, lihatlah Pulau Jawa yang telah terlebih dahulu dibangun. Hidup di sana sungguh nyaman dan mudah karena segala fasilitas ada. Universitas-universitas berkualitaspun dibangun di seantero Jawa. Kuusulkan padanya untuk kuliah di Jawa saja setamat SMA nanti. Dia kini mendapat beasiswa dari yayasan misi di daerahnya, sehingga bisa duduk di bangku SMA Katolik di Padang Pariaman. Dengan begitu, kelak dia bisa membangun tanah kelahirannya. Dia juga kuberitahu tentang komputer yang semakin canggih, bahkan internet dan telepon seluler mulai dikonsumsi kalangan tertentu di Jawa. Hebat bukan?
Surat balasanku itu adalah surat terakhirku. Dia terus menulis, tapi aku tak membalas karena harus kuliah ke Tokyo atas beasiswa yang kuterima. Kini, delapanbelas tahun telah berlalu. Entah bagaimana kabarnya sekarang. Mungkin sudah pulang ke Siberut dan menjadi guru di sekolah misi.
Tiap hari, dari televisi ruang kerjaku di Jakarta, kulihat bencana terus melanda negeri ini. Banjir melahap Metropolitan dua kali dalam satu tahun. Ibukota sudah menjadi hutan beton yang tidak mampu menyerap air hujan. Dulu aku membanggakan mall-mall yang bertebaran di Semarang, tapi kini aku pusing melihatnya. Sungai-sungai di Jawa yang tenangpun meluber akibat pendangkalan oleh sampah dan menggenangi kota-kota yang dilaluinya. Di mana-mana tanah longsor karena tanaman-tanaman keras yang menyangga perbukitan telah ditebang. Lumpur panas pun merendam puluhan kampung karena ambisi pengeruk isi perut bumi yang ingin tambah kaya. Aku rindu untuk menulis lagi bagi sahabat lamaku itu.
“Sekarang, hampir setiap orang punya telepon seluler dan bisa mengakses internet semau gue. Tapi pulau yang kubangga-banggakan padamu karena kemajuannya, kini sedang menuai bencana. Aku lahir, tumbuh, dan besar di pulau kaya ini, sehingga terlena dalam kenikmatan hasil-hasil pembangunannya. Fasilitas kesehatan, pendidikan, transportasi, komunikasi, tehnologi, rekreasi semua serba tersedia dalam kondisi prima. Aku penikmat pembangunan yang tulen, sampai-sampai tak punya kepekaan sepertimu.
Tuhan memang memberi hak pada manusia untuk memenuhi dan menaklukkan bumi serta menguasai isinya. Bukankah itu tugas untuk memiliki, memanfaatkan, merawat, dan memelihara? Bukan untuk merusak, memusnahkan, dan membinasakan? Manusia hanya membanggakan hasil tanpa peduli dampak. Pembangunan memang membawa kemajuan dan kemudahan hidup. Tapi jika dilakukan tanpa perencanaan, tanpa pertimbangan pada dampak lingkungan dan sosial, pasti kamu telah melihat sendiri akibatnya, banjir, tanah longsor, lumpur panas meluap, penggusuran.
Aku saat ini bukan hanya merasa seperti siput yang dipaksa keluar dari cangkang, tapi merasa sudah dipotong-potong, ditusuk satai dan dihidangkan di meja makan VIP hotel berbintang lima. Kelihatannya mewah dan penuh gengsi, namun ternyata menderita. Pernah aku terpaksa meninggalkan mobilku yang terbenam banjir di jalan dan mencapai kantor dengan diangkut gerobak sampah berongkos limapuluh ribu rupiah. Oh Tuhan…”
Kutelepon Istriku apakah surat-surat sahabat penaku dari Siberut itu masih tersimpan baik, karena aku membutuhkan alamat yayasan misi yang dulu menyekolahkannya. Dia bilang, semua barang di lantai bawah sudah dihancurkan air dan lumpur saat banjir lalu. Termasuk surat-surat itu. Oh, bagaimana kabar hutan rimbamu, Siberut? Jakarta kebanjiran…(Bekasi Utara, 2007)

KETIKA DIA PULANG (HIDUP no.10 tqhun ke-62 9 maret 2008)

KETIKA DIA PULANG
Oleh Rini Giri


Aku sedang berdandan di depan cermin pagi itu, ketika Mbok Narti mengetuk pintu kamar yang setengah terbuka dan memberitahu bahwa ada seseorang yang ingin bertemu denganku.
“Siapa?” tanyaku sedikit jengkel. Pagi-pagi begini, saat sedang bersiap-siap untuk pergi misa, kenapa musti ada tamu! Siapa sih tamu nggak tahu waktu itu?
Setelah dandanan terasa pas dan pantas, aku mengintip dari gorden jendela kamar. Seorang lelaki tua berdiri di teras dengan sikap gelisah. Ya Tuhanku dan Allahku! Kepalaku seperti tersambar petir dan tubuhku seperti terkena tendangan bola yang meluncur ke gawang! Tiba-tiba aku lunglai, jantungku serasa mau copot, persendianku lemas, dan kerongkonganku mengering membuat lidah jadi kelu. Dia, yang duapuluh lima tahun lalu meninggalkan rumah ini, meninggalkan aku dan ketiga anak-anak yang masih kecil, demi seorang perawan molek yang tak tahu diri, kini kembali. Mau apa dia? Kenangan-kenangan pahit dan bekas-bekas luka yang harus aku telan dan kusembuhkan sendiri itu muncul lagi. Selama ini aku sudah bisa melupakannya, mengenyahkannya dari ingatan, melenyapkannya dari mimpi-mimpi burukku, dan bahkan sudah menganggap dia mati! Tapi kenapa sekarang dia berdiri lagi persis di tempat ketika aku memohon-mohon dengan tangis pilu sambil memeluk erat kakinya, supaya tidak pergi duapuluh lima pasang musim yang lalu? Aku benar-benar tak habis mengerti!
Segera kuraih hand phone di meja rias dan kuhubungi anakku tertua. Aku berusaha mencari dukungan darinya. Dia sudah berusia delapan tahun waktu ayahnya pergi, jadi kuharap dia lebih mengerti keadaannya dibanding kedua adiknya, yang kala itu masih balita dan sama sekali tidak punya memori tentang sosok ayahnya.
“Apa Ibu masih mencintai Bapak? Kalau memang ibu masih berkenan, terimalah dia kembali, Bu. Bagaimanapun juga dia ayah kami. Tapi kalau tidak, ya sudah, itu hak Ibu. Saya dan adik-adik hanya ingin Ibu bahagia. Kami tidak ingin Ibu tersakiti lagi. Hanya Ibu yang bisa memutuskannya,” ujar anak lelakiku di ujung telephone. Aku memang tidak pernah menjelek-jelekkan ayah mereka atau menanamkan rasa dendam pada anak-anakku. Mereka bertiga tumbuh wajar dengan seorang ibu single parent tanpa banyak tanya tentang ayah mereka. Sama sepertiku, selama ini mereka merasa ayahnya seolah sudah mati. Tidak ada cerita, kabar, foto, ataupun kenangan tentangnya.
Aku harus berani menghadapi lelaki tua itu. Apa maunya sekarang? Akupun bergegas ke teras dengan sikap yang elegan dan berwibawa, meskipun sebenarnya itu hanya topeng dari perasaan kacauku. Ketika aku muncul, dia menoleh ke arahku dengan gerakan serba salah tingkah. Kenapa kakek tua? Kamu kaget melihat diriku masih cantik dan kian matang? Aku hanya diam dalam keangkuhan sambil menunggu apa yang mau dikatakannya. Kini sorot matanya layu, tubuhnya kurus, raut mukanya loyo, dan penampilannya sama sekali tidak perlente seperti dulu. Aku tetap bisu menunggu.
“Miranti...” desisnya menyebut namaku. Aku masih berdiri kaku. Dia mendekat dan menatap mataku sendu. Sebenarnya jantungku berdetak kencang melihat mata yang dulu pernah kucintai itu, tapi aku tetap membatu. “Ranti, maafkan aku.” Apa? Minta maaf? Setelah sekian puluh tahun mengkhianati dan mencampakkanku seperti rombengan? Setelah membiarkanku hidup menderita membesarkan tiga anak sendirian? Dia mau minta maaf? Jadi setelah dia jadi sakit, lusuh, dan tak berguna seperti itu, dia mau minta maaf, minta dikasihani, minta dimaklumi, lantas dengan seenaknya mau kembali ke rumah ini? Enak saja! Kemana dara molek yang membuat dirinya kehilangan daya nalar, perasaan, dan iman itu? “Aku dan Savina sudah bercerai tiga tahun lalu,” ucapnya tanpa ditanya. Oh, jadi cuma sebatas itu cinta perempuan yang membuatnya lupa daratan itu? Setelah lelaki itu jadi bobrok dan tidak bisa lagi dihisap uangnya, lantas dicampakkan begitu saja! Aku membuang muka sinis. “Ranti, aku punya banyak dosa padamu dan anak-anak. Aku mohon, Ranti, maafkan aku. Sekarang aku sudah tua, sakit, dan mungkin sebentar lagi akan mati. Aku hanya ingin minta maaf darimu, supaya hari-hari akhirku menjadi tenang dan akupun bisa mati dengan tersenyum, meskipun pastilah dosaku ini tidak terampuni,” ujarnya lirih dengan mata merah berkaca-kaca, lantas batuk-batuk tak ketulungan. Dia tampak begitu menderita. Tiba-tiba aku jadi kasihan padanya. Penyesalannya sungguh-sungguh. Dia pulang hanya dengan tubuh tua yang letih, dengan batuk hebat yang menggerogoti badannya, dan dengan kerendahan hati untuk minta maaf. Bukankah sebenarnya sejak dulu aku mendamba agar suamiku menyadari kesalahannya? Lihat diriku, bukankah justru aku yang sedang berdiri dalam kecongkaan dan perasaan menang? Aku menarik nafas dalam. Dulu aku sangat mencintainya, bahkan rela bersumpah di depan altar untuk setia kepadanya dalam suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit. Kini dalam kondisinya yang memprihatinkan seperti itu apakah aku akan terus membusungkan dada untuk tidak menggenapi sumpahku dalam sakramen perkawinan tiga puluh lima tahun silam? Bukankah kami tidak pernah bercerai?
Oh, Yesus. Kenapa Kau harus mengajariku untuk memaafkan orang lain tujuh puluh kali tujuh kali? Kenapa Kau harus mengajariku untuk memberikan pipi kiri ketika pipi kanan ditampar orang lain? Kenapa juga Kau tidak membiarkan perempuan pezinah itu dilempari batu, bahkan Kautolong dan Kausuruh bertobat? Aduh, berat betul ajaran dan teladan-Mu, ya Yesus! Aku mengeluh. Tiba-tiba lelaki itu berlutut dan memeluk kakiku erat sambil menangis.
“Aku memang tidak pantas untuk mendapat maafmu. Aku juga tidak layak untuk bertemu anak-anak. Kesalahanku memang sangat besar. Aku memang pantas mendapatkan hukuman…” Setelah itu dia berdiri. Dengan kepala tertunduk diapun membalikkan badan dan pergi dengan langkah gontai. Punggungnya tampak tersengal-sengal oleh batuk yang luar biasa menyiksa. Apakah engkau akan tetap membisu dalam kesombonganmu, Miranti? Untuk apa kau pergi ke gereja dan minta ampun pada Bapa kalau kau sendiri tidak mau memaafkan orang lain?
“Mas,” panggilku dengan susah-payah. Lelaki itu berhenti dan menoleh. Aku mendekatinya. “Pagi ini aku mau ke gereja. Apa kau mau kita pergi bersama?” Wajah renta itu memandangku dan tersenyum mengangguk penuh haru. Untuk menerimanya lagi di hatiku mungkin butuh waktu, tapi untuk sekedar memaafkan dan membuatnya tersenyum, aku bisa melakukannya bukan? Oh, Yesus, ajaran-Mu memang keras, tapi dengan sedikit kerendahan hati saja, ajaran itu begitu mudah dan membahagiakan. Terimakasih, Yesus. (Bekasi Utara, Oktober 2007)

Sepeda Tante Tien (HIDUP no 04 tahun ke-62, 27 jan 2008)

SEPEDA TANTE TIEN
Oleh Rini Giri

Sudah dua minggu ini bunyi bell sepeda onta yang rutin mengunjungi Bina Iman Anak (BIA) itu tidak terdengar. Ada apa gerangan? Apakah Tante Tien bangkrut gara-gara setiap Hari Minggu bagi-bagi kue dagangan gratis pada anak-anak? Apakah Tante Tien pulang kampung? Ataukah Tante Tien sakit? Tidak ada satu orangpun di tempat BIA yang tahu. Rita menggigit bibir. Hatinya resah memikirkan ketidakhadiran perempuan paruh baya penjaja kue keliling itu. Dia lebih suka kalau ternyata tante Tien memang sudah memutuskan untuk tidak memberi kue gratis lagi. Kalau apa yang dilakukan perempuan itu bisa bikin bangkrut, tentu Rita akan sangat menyesal.
“Maaf, Tante. Saya sangat berterimakasih atas perhatian Tante pada kegiatan BIA. Tapi Tante, ini kan barang dagangan. Kalau setiap Hari Minggu dibagikan gratis pada anak-anak, Tante bisa tekor. Nanti pakai apa bayar kontrakan dan biaya makan keluarga Tante?” kata Rita suatu hari. Perempuan dengan sepeda onta lengkap keranjang kue di boncengannya itu hanya tersenyum. Dia terus memasukkan kue donat sebanyak duabelas biji, sesuai jumlah anak yang hadir, ke dalam kantung plastik.
“Ini cuma sedikit kok. Tidak ada artinya dibanding berkat Tuhan yang melimpah untuk saya dan keluarga.” Ah, tante satu ini memang sok! Semua orang juga tahu kalau keluarganya itu miskin, suaminya menganggur, anak-anaknya tidak bisa kuliah. Berkat yang mana? Demi melihat kernyitan di dahi Rita, perempuan itu berkilah. “Yang penting keluarga kami tetap rukun, tetap bisa makan, tetap sehat.” Oh. Rita menghela nafas. “Ini wujud syukur. Cuma ini yang bisa kami berikan,” lanjutnya sambil menyodorkan bungkusan itu pada si pendamping BIA. Anak-anak pasti akan berlompatan girang menerima penganan gratis itu. Rita hanya mengangguk sambil mengucap terimakasih sebelum sepeda onta itu berlalu. Dulu pernah Rita menyodorkan sejumlah uang sebagai kompensasi, tapi dengan tulus Tante Tien menolak.
Apa iya Tante Tien bangkrut sehingga tak bisa jualan lagi? Kalau pulang kampung tidak mungkin, karena biasanya memberi tahu. Atau jangan-jangan sakit? Rita segera mendapatkan ide. Dia harus mengunjungi rumah Tante Tien untuk mengetahui kondisi sebenarnya. Mahasiswi itu pergi bersama dua orang pendamping BIA lainnya dan tiga anak asuh.
Rumah kontrakan itu berupa petak dengan ruang tamu sempit, sebuah kamar tidur yang hanya tertutup kain gorden lusuh, dan sekat kecil untuk memasak serta ada kamar mandi ciut. Seorang lelaki tua duduk di beranda sambil mengepulkan asap rokok, sedangkan sepeda onta itu tidak kelihatan. Apa tante Tien sedang pergi? Rombongan itupun segera bertanya pada lelaki tua, suami Tante Tien, yang buru-buru masuk rumah untuk memberi tahu. Tak lama sosok perempuan yang sangat mereka kenal karena kemurahan hatinya itu muncul dari dalam rumah. Dengan senyum ramah yang cerah. Syukurlah, dia baik-baik saja.
“Aduh, mimpi apa aku semalam sampai-sampai dikunjungi tamu-tamu istimewa ini.” Diapun segera menyalami rombongan. “Maaf ya, sudah beberapa kali saya tidak bisa mampir, soalnya tidak ada sepeda lagi. Mau jalan ke sana sudah letih rasanya.” Diapun mempersilakan rombongan duduk di atas tikar ruang tamunya.
“Sepedanya rusak?” Tanya Rita.
“Bukan. Anak saya sedang butuh ongkos untuk cari kerja di kota lain. Hanya sepeda itu yang bisa dipakai untuk menambah uang sakunya.”
“Tante tidak jualan lagi?” desak Rita.
“Jualan kok. Tapi hanya dekat-dekat sini saja. Soalnya jalan kaki. Aduh, maaf ya, tidak sempat mengunjungi bina iman lagi.”
“Nggak pa-pa kok, Tante. Yang penting Tante selalu sehat dan baik-baik saja.” Jawan Rita menghibur. Perempuan itupun terus nyerocos dengan ceritanya. Katanya, sejak tidak pernah mampir ke BIA, dagangannya agak sepi.
“Oh, seandainya bisa mampir terus, pastilah laris.” Rita tersenyum geli. Sebenarnya mudah saja logikanya, kalau naik sepeda daya jangkau Tante Tien semakin luas dan pembeli semakin banyak. Sedangkan dengan jalan kaki, daerah yang dikelilingi terbatas sehingga yang belipun sedikit. Tapi perempuan sederhana itu masih saja mengkait-kaitkan hasil dagang dengan berkah dan syukur. Rita geleng-geleng.
Suatu hari, BIA mengedarkan proposal untuk acara Lomba Kitab Suci. Kas Lingkungan sudah mengucurkan dana, tapi masih dirasa kurang. Rapat pengurus lingkungan akhirnya mengijinkan Tim BIA mencari donator. Anak-anak muda itupun mendatangi warga yang dianggap terpandang di lingkungan itu, dengan harapan dana yang akan diberikanpun jumlahnya tidak main-main. Satu dua orang memang memberikan dana cukup banyak dengan senyum tulus, tapi beberapa orang hanya mengeluarkan lembaran warna ungu atau hijau. Itupun dengan ceramah panjang lebar, keluhan adanya macam-macam tarikan sumbangan, dan sungut-sungut kenapa tidak minta dana saja pada paroki. Bahkan ada juga yang hanya disambut pembantu yang mengatakan bahwa tuan rumah sedang pergi. “Memang lebih mudah bagi seekor unta masuk ke lubang jarum!” sungut Rita kesal. Toh Tim BIA cukup kreatif untuk mengalokasikan dana yang ada sehingga acara berjalan baik bahkan menyisakan surplus beberapa puluh ribu.
Rita kini jadi mengerti, kenapa Tante Tien begitu gembira dan bersemangat meskipun dia hidup dalam segala kekurangan. Dia orang yang selalu diliputi rasa syukur. Memberikan kue dagangan cuma-cuma pada anak-anak BIA merupakan ucapan terimaksihnya pada Tuhan, sehingga dia tidak pernah merasa rugi meskipun mengurangi pendapatan. Jika dia berhenti memberi, diapun merasa kehilangan sarana untuk berucap syukur dan sedih bahkan rugi. Memang aneh. Mungkin itulah yang namanya iman. Bahagia meskipun mempersembahkan segala yang dimiliki dari kekurangannya.
“Kenapa uang sisa kegiatan itu tidak digunakan untuk kebahagiaan sesama kita?” Tanya Rita pada teman-teman satu timnya.
“Maksudmu?” Tanya salah satu diantara mereka.
“Sisa uang itu ditambah iuran sukarela kita, bisa dibelikan sebuah sepeda bekas.” Jawab Rita. Apa salahnya sih berbuat sesuatu untuk orang yang telah berjasa bagi BIA?
“Buat apa?” Mereka tak habis mengerti. Rita tersenyum lagi.
“Buat Tante Tien.” Jawab Rita kemudian.
“Supaya kamu kebagian kue gratis lagi?” Ledek kawannya. Rita tetap tersenyum.
“Ya. Supaya dia kembali bahagia. Bukankah kalian juga merasakan senyum tulus dan kebahagiaan hati Tante Tien setiap kali datang?.” Kawan-kawannyapun mengangguk setuju. Semakin merekahlah senyum senang Rita. Mereka segera merogoh kocek masing-masing.
Pada pertemuan BIA berikutnya, bell sepeda Tante Tien terdengar lagi. Ada kebahagiaan di raut wajah tuanya. Kali ini lebih banyak lagi.

MAU IKUT MUNDUR JUGA? (Warta Klara 23 Agustus 2009)

MAU IKUTAN MUNDUR JUGA?
Oleh C. Rini Giri

Bayi hanya diberi susu. Namun seiring bertambahnya usia, dia harus makan menu halus, lembik, lantas padat. Jika bayi tidak diajari demikian, maka sampai besarpun tidak akan bisa mencerna makanan padat.
Anak kedua saya juga begitu. Sampai umur 4,5 tahun hanya makan bubur saja. Sebab setiap kali dikenalkan pada menu lembik, dia selalu muntah. Saya putus asa dan membiarkannya terus makan bubur daripada tidak sama sekali. Akibatnya? Dia terkena gizi buruk dan terlambat jalan bahkan harus terapi. Puji Tuhan, kini dia sudah baik.
Dalam surat pertama kepada umat di Korintus, Paulus pernah berkata: “Susulah yang kuberikan kepadamu, bukanlah makanan keras, sebab kamu belum dapat menerimanya.” Paulus menjelaskan bahwa ajaran-ajaran Kristus hanya bisa ditangkap oleh orang yang dewasa rohani. Sebab ajaran-ajaran Yesus sangat radikal. Jika hanya belajar hal mudah terus, maka tidak akan segera dewasa.
Kotbah di bukit dalam Matius 5-7 membuat semua orang berkobar-kobar hatinya. Yesus orator ulung yang mampu menghipnotis pendengar dan pembaca dengan kata-kata indah, lugas, tegas, dan tepat sasaran. Dia mengajar sebagai orang yang berkuasa.
Ajaran-ajaran-Nya tidak ringan. Miskin di hadapan Allah, menjadi garam dan terang dunia, mengajarkan berarti melakukan, mengampuni lebih utama daripada persembahan, tak ada perceraian, hidup jujur, tidak membalas kejahatan orang, mengasihi musuh, berdoa-bersedekah--puasa bukan untuk pujian dan pameran, mengumpulkan harta surgawi, tidak mengkhawatirkan hidup, tidak mudah menghakimi, mau berusaha dalam doa, memilih jalan hidup yang benar, berbuah kebaikan, dan meletakkan iman pada dasar yang kokoh. Siapa yang tidak takjub? Siapa yang sanggup melakukannya?
Bahkan murid-murid yang kagum pada perkataan dan perbuatan besar-Nya, langsung menyadari ketajaman ajaran itu. Di Kapernaum, Yesus pernah menyatakan diri sebagai roti yang turun dari surga. Barangsiapa makan daging-Nya dan minum darah-Nya akan beroleh hidup kekal. Lalu para murid bersungut-sungut dan berkata, “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?” Yoh 6: 59-66. Dan sejak saat itu murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia.
Ketika menyadari bahwa ajaran Kristus itu tidak mudah, apakah lantas juga akan mundur teratur? Seperti saya yang langsung menyerah ketika anak saya hanya doyan bubur? Nyatanya berakibat fatal, anak saya kurang gizi dan perkembangan motoriknya terganggu. Jika ikut mundur, kerugian besar yang akan menimpa. Sebab ajaran Yesus bak harta karun di ladang, sehingga orang rela menjual apapun untuk membeli seluruh ladang itu. Butuh perjuangan untuk menemukannya dan pengorbanan untuk melakukannya.
Simon dan para rasul tetap bertahan. Bahkan ketika ditantang untuk pergi, Simon menjawab. “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah.” Yoh 6:68-69.
Yesus melalui Simon, menunjukkan cara menjadi dewasa rohani, seperti harapan Paulus. Harus percaya hanya pada-Nya, tak ada tempat lain. Percaya bahwa ajaran itu adalah ajaran Allah dan akan membawa pada hidup kekal.
Mengenal Yesus seperti minum susu. Mendengar ajaran-Nya seperti belajar makan bubur. Merenungkan firman-Nya seperti mengenal menu lembik. Melakukan apa yang dikehendaki-Nya seperti menikmati makanan padat. Butuh proses, belajar, sabar, tekun, dan rendah hati. Pantang mundur! Tuhan memberkati.

DUA ORANG PEREMPUAN (Warata Klara 14 juni 2009)

DUA ORANG PEREMPUAN
Oleh Caecilia Rini Giri


Suatu pagi aku kedatangan tamu. Dua orang perempuan. Senyum dan ucapan mereka seramah sahabat. Mereka bertanya, apakah aku seorang kristiani. Tentu, jawabku. Aku mengenal Yesus sejak kecil bahkan dibabtis ketika bayi. Merekapun mengeluarkan beberapa buku rohani untuk ditawarkan. Judulnya menarik, bersampul indah, dan dilengkapi gambar-gambar menawan. Mereka bilang aku boleh mendapatkannya dengan membayar secara sukarela. Siapa yang tidak tertarik dengan tawaran seperti itu? Tanpa pikir panjang akupun memilih buku tentang keluarga dan cerita Alkitab untuk anak-anak. Toko buku terdekat belum tentu menyediakan bahan bacaan semenarik itu. Setengah jam kami ngobrol di ruang tamu dengan keakraban yang terbina seperti air mengalir. Saat pulang, aku mengantar mereka sampai pintu gerbang dan mengucapkan banyak terimakasih. Seorang ibu rumah tangga yang jarang bepergian sepertiku, lantas diberi bacaan bagus dengan harga murah, bukankah suatu anugerah? Aku sudah menghemat biaya transportasi untuk mendapatkannya.
Seminggu kemudian, dua perempuan itu kembali mampir ke rumah. Masih dengan senyum dan perkataan ramah yang membuat kami cepat akrab. Seperti teman lama rasanya. Mereka mulai mengajakku berdiskusi tentang segala kebobrokan dan kerusakan dunia akhir-akhir ini. Menurut mereka, Tuhan tidak menyebabkan segala kehancuran di bumi ini. OK, aku sependapat. Tuhan telah memberikan kebebasan secara bertanggung jawab kepada manusia untuk mengelola bumi seisinya. Tentu saja jika kemudian bumi ini mengalirkan banjir, melongsorkan tanahnya, membakar kayu-kayu hutannya, mengerontangkan sumber-sumber airnya, dan tidak membuahkan hasil panen yang baik lagi, kita tidak bisa menyalahkan Tuhan. Itu adalah kesalahan manusia sendiri yang terlalu rakus dan tidak menjaga keseimbangan alam.
Mereka bertanya apakah Tuhan akan diam saja dengan semua itu? Aku bilang, tentu saja Tuhan kan bertindak. Bukankah Tuhan hanya menyelamatkan Nuh dan keluarga ketika air bah menenggelamkan segala orang fasik? Bukankah Tuhan murka melihat kekejian di Sodom dan Gomora? Bukankah Tuhan menceraiberaikan Israel dan membuang mereka ke Babel karena umat pilihan-Nya itu memilih untuk menyembah allah lain? Salah satu perempuan itu bilang, inilah akhir jaman itu, dimana bangsa bangkit melawan bangsa, gempa bumi dimana-mana, dan penyakit serta kelaparan merajalela. Tuhan akan membiarkan sistem buruk ini berlalu dan segera mengakhirinya, lantas menyediakan firdaus baru bagi mereka yang tetap dalam kebenaran. Satu-satunya cara supaya tetap dalam kebenaran adalah mengenal Bapa dan Yesus secara benar melalui Alkitab. Aku menjadi tertarik dan menjanjikan waktu khusus di pertemuan berikutnya.
“Apakah kita perlu mempercayai Tritunggal? Apakah benar Maria itu bunda Allah? Apakah diperbolehkan berdoa di depan patung? Apakah Yesus itu Allah sendiri yang menjelma menjadi manusia? Apakah perayaan Natal itu perlu karena berasal dari tradisi kafir? Apakah Roh manusia itu bersifat kekal setelah manusia mati? Jawabannya tidak, Mbak Rini. Tidak ada satupun ayat dalam alkitab yang menyebutkan hal-hal itu. Ajaran-ajaran yang mendukung hal di atas tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bukankah hukum kita adalah hukum Allah yang tertulis dengan jelas dalam Alkitab? Coba renungkan masalah ini.” Darahku mendidih mendengar perkataan tamu itu ketika kami bertemu untuk ketiga kalinya. Mukaku pucat dan aku terdiam dengan kerongkongan mengering. “Kalau Mbak Rini belum bisa menerima, mari kita cari ayat dalam Alkitab yang bisa menjelaskan itu semua. Tolong tunjukkan jika memang ada ayat yang mendukung.” Terus terang aku jadi kebingungan untuk menentang atau memberi penjelasan tentang perbedaan pandangan antara apa yang aku percayai dengan apa yang telah mereka paparkan. Selama ini aku jarang membaca Alkitab. Firman Tuhan hanya aku dengarkan ketika mengikuti misa di gereja. Itupun hanya sayup-sayup sampai. Bagaimana aku akan menunjukkan bukti-bukti bahwa doktrin yang mereka sampaikan itu keliru kalau aku saja tidak bisa membuktikan kebenaran dari doktrin yang aku percayai? Sementara mereka hafat isi Alkitab di luar kepala. Aku gelagapan dan hanya menjawab seadanya.
“Saya bahagia dengan apa yang telah saya pelajari dan percayai.” Ujarku. Sungguh tidak bijaksana jika aku emosi. Padahal ingin kukatakan, segera pergilah dan kebaskanlah debu di luar sana agar tidak tertinggal di rumahku!
“Percaya saja tidak cukup, Mbak. Kita harus mengkajinya, harus mengujinya, apakah yang kita percayai itu benar-benar sesuai dengan kehendak Allah.”
“Saya menerima Allah Bapa dan Putra dan Roh Kudus dengan iman. Jadi biarlah tersisa misteri di dalamnya, namun saya sungguh percaya. Kalau saya berusaha membuktikannya, itu bukan lagi iman, tapi sudah menjadi ilmu pengetahuan.”
“Tapi Allah tidak menghendaki kita menjadi bodoh, Mbak.”
“Mungkin saya kelihatan bodoh di mata anda berdua, tapi pasti tidak di hadapan Tuhan, karena saya menerima Dia seperti seorang anak kecil menerima bapaknya. Tanpa banyak bertanya. Percaya saja. Bukankah Nuh tidak banyak tanya ketika disuruh membuat bahtera? Yesaya dan Yeremia juga tidak banyak tanya ketika diutus kepada bangsa Israel untuk bernubuat. Para rasul juga menjalankan begitu saja perintah Yesus ketika diutus pergi berdua-dua tanpa protes. Bukankah Musa yang banyak tanya dan sering meragukan Allah justru tidak diijinkah masuk ke Kanaan? Yunus yang menyangsikan perintah Allah untuk menyerukan pertobatan bagi warga Niniwe justru tenggelam, tertelan ikan, dan sampai di kota itu dengan perasaan menyesal?” Itu benteng terakhirku sebelum keduanya pulang dengan wajah tetap tersenyum. Padahal jantungku begitu meletup-letup menahan marah.
Tapi ada untungnya juga kedatangan kedua perempuan itu. Aku jadi tertarik untuk membaca Alkitab lebih teliti lagi. Bukti-bukti yang diminta kedua perempuan itu bisa kutemukan di sana. Mereka hanya beda menafsirkan. Tapi kita tidak boleh menafsirkan semau hati bukan? Aku tetap berpegang pada apa yang sudah diajarkan padaku dan kupercayai.
Ketika kedua tamu itu datang lagi, dengan sopan kukatakan,” Maaf, saya tidak bisa menerima anda lagi. Anggur lama harus disimpan di kirbat yang lama. Anggur baru harus disimpan di kirbat baru. Sebab jika anggur baru dituang ke kirbat lama, kulit kirbat itu akan robek. Anggur lama yang disimpan di kirbat baru malah tidak akan terjaga mutunya. Kita saling menghormati saja.” Keduanya tidak pernah datang lagi. Biarlah aku tetap seperti anak kecil dalam menerima-Nya.

YESUS, PRIA PALING TAMPAN (Warta Klara 5 Juli 2009)

KITA BUTUH MEMAAFKAN
Oleh C. Rini Giri


Masa pensiun seharusnya dinikmati dalam kebahagiaan menimang cucu. Tapi seorang ibu justru jatuh sakit dan kesepian. Begitu berhenti kerja, sakit hatinya sangat terasa. Menyita seluruh waktu dan membuatnya digerogoti TBC kronis.
Semua bermula ketika putrinya mencintai pria beda agama. Beda pendapat membuat keduanya sering cekcok. Sang ibu ingin anaknya tetap dalam keyakian yang mereka anut. Sedangkan sang anak ingin dihormati pilihan hidupnya. Parahnya, sang putri akhirnya menikah diam-diam dengan tata cara di luar gereja.
Ibu ini sangat kecewa. Dia sudah mengandung, melahirkan, merawat, dan menyekolahkan hingga jadi sarjana. Tapi apa balasannya? Dia dikhianati. Hubungan mereka pun putus. Sang ibu tak sudi lagi melihat putrinya. Beberapa kali sang putri bertandang, ingin minta maaf, sekaligus memperkenalkan para cucu. Tapi pintu hati sudah terpatri rapat. Hati terlanjur hancur, sampai-sampai tak tersisa lagi untuk memaafkan.
Untunglah ibu itu punya sahabat dari lingkungan gereja yang mau mendengarnya, bahkan mau mengantar jika berobat. Ibu itu merasa iri, ”Anak-anakmu begitu mencintaimu. Sementara anak harapanku, malah pergi.” Sahabat itu menjawab dengan hati-hati,”Mungkin sudah saatnya kaumaafkan putrimu. Sebenarnya dia tidak meninggalkanmu, bukankah dia selalu ingin kembali? Mungkin bukan hanya dia yang butuh dimaafkan. Kaupun butuh memaafkannya.”
Memberi maaf jauh lebih sulit dijalani dibanding minta maaf. Minta maaf kalau tidak ditanggapi bisa langsung pergi dan bilang, “Yang penting aku udah minta maaf. Soal tidak dimaafkan, itu urusan dia!” Tapi orang yang dimintai maaf dan tidak memberi, rasa dendam dan bencinya akan merongrong terus seumur hidup.
Memaafkan butuh energi besar. Batin bergumul hebat. Enak sekali minta maaf, si peminta maaf itu kan tidak tahu bagaimana sakit dan kecewanya orang yang dirugikan. Yang butuh kan orang yang minta maaf, jadi biar saja dia memohon-mohon dulu. Kadang makan waktu bertahun-tahun untuk benar-benar memaafkan. Bahkan kadang sampai akhir hayatpun maaf tak diberikan. Memberi maaf bukan hanya sekedar kalimat,”Ya, saya maafkan. Jangan diulangi lagi ya.” Tapi merupakan kerelaan untuk menerima dan melupakan kesalahan orang lain. Untuk sampai pada tahap itu, kerendahan hati sangat berperan. Orang yang tulus memaafkan, akan mau tersenyum lagi pada yang dimaafkan. Sedangkan maaf semu akan menghindar dari si pelaku. Syukur-syukur nggak punya urusan lagi sama dia! Kapok deh!
Rasa gondok pada orang lain yang bersalah, lama-lama jadi tekanan batin. Jiwa yang sakit membuat tubuh jadi rapuh pula. Maka keikhlasan untuk memaafkan sangat dibutuhkan demi kesehatan jiwa dan raga. Memaafkan mampu menyembuhkan luka batin, walau orang yang bersalah tidak minta maaf. Apalagi jika minta maaf. Apakah hati akan dibiarkan makin luka dengan tidak memaafkan? Dengan mengampuni, dua batin tersembuhkan sekaligus.
“Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu” (Mat 5: 23-24) Memaafkan orang lain dibutuhkan untuk bisa hidup berkenan di hadirat Tuhan.
Kini si ibu tampak lebih sehat. Bahkan berseri-seri ketika menceritakan kebandelan cucunya. “Apa gunanya aku rajin misa dan berdoa Bapa Kami, tapi tidak mau memaafkan anakku sendiri.”

BERKAH DALAM PERBEDAAN (Warta Klara 16 Agustus 2009)

BERKAH DALAM PERBEDAAN
Oleh C. Rini Giri


Sejak ada latihan menari di rumah, teman anak saya bertambah. Sebelumnya dia hanya bermain dengan anak-anak tertentu. Kini, anak dari gang lain mau mampir ke rumah. Anak saya juga sering pamit bermain ke gang lain. Berkat latihan bersama menyongsong HUT RI ke-64 itu, sekat antar warga terbuka. Bukan hanya diantara anak-anak, tapi juga di kalangan orangtua.
Warga yang dulu diam saja jika berpapasan, sekarang mulai menyapa. Yang dulu belum kenal, sekarang mulai mengobrol. Kulit putih, kuning langsat, sawo matang, dan hitam manis berkumpul untuk rapat. Rambut lurus, berombak, keriting, panjang, pendek dan cepak bersama membentuk panitia. Orang Sunda, Jawa, Batak, Flores, Ambon, Makasar, Padang, dan Palembang berperan dalam iuran. Tak ada perbedaan. Semua satu tujuan untuk menyukseskan acara HUT RI ke-64 di lingkungan.
“Ibu pinjam sarung siapa ya? Kita butuh lima untuk lomba.” Ujar saya. Kebetulan saya termasuk panitia. “Besok aku pinjem dari teman-temanku yang ngaji deh!” Jawab anak saya spontan. Lomba makan kerupuk, makan bakwan, pindah bendera, lari sarung, lompat kodok, dan goyang bola telah mengikis segala perbedaan dan menyatukannya dalam tawa ria.
Karena hanya ada waktu 2 minggu untuk latihan, saya merancang tarian yang mudah dihapal. Yang penting lagunya ngetop. Tak Gendong Kemana-Mana-nya Mbah Surip. Jadilah sebuah tarian kocak. “Kita harus saling menggendong untuk pentas malam 17 Agustus nanti ya.” Ujar saya. Mereka semua tertawa hahahaha. Maksud saya, saling membantu, menyemangati, dan mengingatkan antar teman sehingga timnya kompak. Ternyata dalam 5 hari saja, mereka sudah hapal gerakannya.
“Seragam tarinya apa, Bu?” Tanya seorang anak. Yang penting tidak merepotkan orang tua dengan membeli baju baru. Saya memberi beberapa pilihan. Ternyata disepakati T-Shirt, rok pendek, dan leging. “Aku gak punya leging!” Keluh anak saya. “Pinjam punyaku aja. Aku punya banyak di rumah.” Usul salah satu temannya. Puji Tuhan. Anak itu punya banyak leging karena sehari-hari dia memakai kerudung.
Pesta kemerdekaan Indonesia, bukan sekedar makan-makan, bikin panggung, pasang umbul-umbul, goyang sampai pagi, dan aneka lomba lucu-lucuan. Pesta kemerdekaan adalah saat bagi semua kalangan untuk berbaur di lingkungan masing-masing. Pesta dimana keanekaragaman bisa menyatu tanpa sekat dan saling bekerjasama untuk kebahagiaan bersama. Perbedaan suku, agama, golongan, strata sosial, tingkat pendidikan, dan pandangan yang diagungkan selama ini, hancur mati kutu hanya oleh lomba lari sarung. Seorang ibu lulusan S2 pun berlari bersama dalam satu sarung dengan ibu rumah tangga lulusan SMEA.
Yesus bersabda :”Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian?” (Mat 5: 46-47) Kita diutus untuk mengasihi sesama tanpa pandang bulu.
Sebagai orang Katolik, perhelatan besar bangsa ini adalah kesempatan baik untuk mewartakan Kasih Yesus dalam keterlibatan positif. Sebab pohon dikenal dari buahnya. Mari membuka hati pada perbedaan. Ternyata berbeda itu membawa berkah. Bisa saling mengisi dan melengkapi. Jika rela membuka hati, ternyata orang lainpun menyambut. Nyatanya anak saya kian banyak teman. Seorang ibu di ujung gang yang selama ini tak saya kenal, kini tersenyum ramah setiap bertemu. Persatuan bangsa ada di tangan kita bersama. Tuhan memberkati.

KITA BUTUH MEMAAFKAN (Warta Klara 26 Juni 2009)

KITA BUTUH MEMAAFKAN
Oleh C. Rini Giri


Masa pensiun seharusnya dinikmati dalam kebahagiaan menimang cucu. Tapi seorang ibu justru jatuh sakit dan kesepian. Begitu berhenti kerja, sakit hatinya sangat terasa. Menyita seluruh waktu dan membuatnya digerogoti TBC kronis.
Semua bermula ketika putrinya mencintai pria beda agama. Beda pendapat membuat keduanya sering cekcok. Sang ibu ingin anaknya tetap dalam keyakian yang mereka anut. Sedangkan sang anak ingin dihormati pilihan hidupnya. Parahnya, sang putri akhirnya menikah diam-diam dengan tata cara di luar gereja.
Ibu ini sangat kecewa. Dia sudah mengandung, melahirkan, merawat, dan menyekolahkan hingga jadi sarjana. Tapi apa balasannya? Dia dikhianati. Hubungan mereka pun putus. Sang ibu tak sudi lagi melihat putrinya. Beberapa kali sang putri bertandang, ingin minta maaf, sekaligus memperkenalkan para cucu. Tapi pintu hati sudah terpatri rapat. Hati terlanjur hancur, sampai-sampai tak tersisa lagi untuk memaafkan.
Untunglah ibu itu punya sahabat dari lingkungan gereja yang mau mendengarnya, bahkan mau mengantar jika berobat. Ibu itu merasa iri, ”Anak-anakmu begitu mencintaimu. Sementara anak harapanku, malah pergi.” Sahabat itu menjawab dengan hati-hati,”Mungkin sudah saatnya kaumaafkan putrimu. Sebenarnya dia tidak meninggalkanmu, bukankah dia selalu ingin kembali? Mungkin bukan hanya dia yang butuh dimaafkan. Kaupun butuh memaafkannya.”
Memberi maaf jauh lebih sulit dijalani dibanding minta maaf. Minta maaf kalau tidak ditanggapi bisa langsung pergi dan bilang, “Yang penting aku udah minta maaf. Soal tidak dimaafkan, itu urusan dia!” Tapi orang yang dimintai maaf dan tidak memberi, rasa dendam dan bencinya akan merongrong terus seumur hidup.
Memaafkan butuh energi besar. Batin bergumul hebat. Enak sekali minta maaf, si peminta maaf itu kan tidak tahu bagaimana sakit dan kecewanya orang yang dirugikan. Yang butuh kan orang yang minta maaf, jadi biar saja dia memohon-mohon dulu. Kadang makan waktu bertahun-tahun untuk benar-benar memaafkan. Bahkan kadang sampai akhir hayatpun maaf tak diberikan. Memberi maaf bukan hanya sekedar kalimat,”Ya, saya maafkan. Jangan diulangi lagi ya.” Tapi merupakan kerelaan untuk menerima dan melupakan kesalahan orang lain. Untuk sampai pada tahap itu, kerendahan hati sangat berperan. Orang yang tulus memaafkan, akan mau tersenyum lagi pada yang dimaafkan. Sedangkan maaf semu akan menghindar dari si pelaku. Syukur-syukur nggak punya urusan lagi sama dia! Kapok deh!
Rasa gondok pada orang lain yang bersalah, lama-lama jadi tekanan batin. Jiwa yang sakit membuat tubuh jadi rapuh pula. Maka keikhlasan untuk memaafkan sangat dibutuhkan demi kesehatan jiwa dan raga. Memaafkan mampu menyembuhkan luka batin, walau orang yang bersalah tidak minta maaf. Apalagi jika minta maaf. Apakah hati akan dibiarkan makin luka dengan tidak memaafkan? Dengan mengampuni, dua batin tersembuhkan sekaligus.
“Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu” (Mat 5: 23-24) Memaafkan orang lain dibutuhkan untuk bisa hidup berkenan di hadirat Tuhan.
Kini si ibu tampak lebih sehat. Bahkan berseri-seri ketika menceritakan kebandelan cucunya. “Apa gunanya aku rajin misa dan berdoa Bapa Kami, tapi tidak mau memaafkan anakku sendiri.”

Domba Itu Tidak Sesat (Warta Klara 28 Juni 2009)

Dua tahun silam, saat berkunjung ke Santa Klara, Bapak Uskup Julius Darmaatmaja SJ pernah menghimbau agar para ketua lingkungan memperkecil lubang jalinan jala-nya dalam merangkul umat. Sehingga ikan-ikan kecil pun tertangkap. Dalam kunjungan tahun ini, kembali lagi Bapak Uskup menghimbau supaya para pengurus lingkungan rajin mencari domba yang hilang. Ikan-ikan besar sudah pasti terjaring walau lubang jalinan jala besar. Domba-domba yang tetap berada dalam kawanan sudah pasti aman. Sehingga ikan besar dan domba taat ini tak perlu dikejar-kejar lagi, karena mereka sudah setia dengan sadar dan ikhlas untuk tinggal di perahu atau kandang. Ikan-ikan kecil dan domba hilang inilah yang harus dirangkul supaya mau kembali dan bersatu dengan kawanannya di habitat yang telah disediakan. Wah, saya jadi tersentuh dengan himbauan yang sebenarnya tajam tapi memakai gaya bahasa perumpamaan yang santun itu. Malu malah! Masalahnya saya juga pernah jadi ikan teri yang sulit masuk jaring. Atau domba hilang yang ogah kembali. Kenapa begitu?
Dulu, waktu baru masuk menjadi warga paroki ini, anak-anak saya masih kecil. Bahkan yang bungsu masih bayi. Suami saya juga bekerja dari pagi sampai malam, bahkan kadang tugas ke luar kota. Wah, pokoknya keluarga kami repot banget. Ketemu tetangga saja jarang, apalagi ketemu saudara seiman dalam satu lingkungan. Para pengurus lingkungan sudah berusaha maksimal untuk menjaring kami. Jala-nya dijalin kecil-kecil supaya keluarga ikan teri kami terperangkap masuk. Jika ada kegiatan, undangan selalu diantar, Ibu Ketua lingkungan kadang menelpon, saudara selingkungan yang terdekat sering mengingatkan, bahkan kalau ketemu di mana aja selalu ada yang menyapa dan bertanya kenapa jarang kelihatan. Wah, anak saya ulangan, anak saya agak panas, anak saya agak rewel, nanti kalau diajak doa bakalan ribut, suami saya belum pulang, suami saya masih di luar kota. Bahkan saat diajak menengok orang sakit pun, anak-anak dan suami selalu jadi alasan saya. Ini nggak mengada-ada lho. Bener.
Mengacu pada himbauan Bapak Uskup, saya jadi kasihan pada para Ketua Lingkungan berikut para pengurusnya yang sudah bekerja keras memperkecil jalinan jala dan menebarkannya sampai ke pelosok danau, bahkan sampai ke tempat yang tersembunyi. Mereka juga sudah berusaha mencari domba yang belum kembali sampai ke penjuru ladang, bahkan sampai diantara semak belukar. Kerja mereka sudah maksimal. Jadi bukan salah mereka jika akhirnya kegiatan di lingkungan hanya dihadiri orang yang itu-itu juga. Tapi sebenarnya ikan teri seperti saya waktu itu, atau domba bandel seperti saya kala itu, yang jadi pangkal persoalan. Saya sadar sepenuhnya, bila saya masuk ke dalam jaring dan tinggal dalam perahu atau masuk kandang bersama domba lain, akan ada konsekuensi yang mengikuti. Misalnya : ikut dalam kegiatan lingkungan seperti doa, arisan, koor, sekolah minggu, rumah dipakai untuk doa, dan siap bantu ini itu. Belum lagi ada iuran dan kegiatan sosial. Tentulah butuh kerelaan untuk meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan dana. Kalau dana, mungkin masih bisa. Tapi waktu, tenaga, pikiran belum bisa saya bagikan karena tersedot habis untuk mengurus keluarga. Beberapa teman mengajak arisan wilayah, ikut koor WP, KEP, dan jadi lektor. Aduh, mungkin nanti kalau anak-anak sudah SMP jadi bisa saya tinggal, jawabku. Untuk lingkungan saja belum bisa, apalagi untuk wilayah atau paroki. Boro-boro!
Oh, Bapa Uskup yang budiman. Mungkin para gembala awam di lingkungan, wilayah, dan paroki seantero Santa Klara sudah bekerja keras untuk menjaring dan menemukan domba kecil seperti saya. Tapi memang saya sendirilah yang belum mau terjaring dan masuk kawanan. Saya masih ingin bebas. Belum mau terikat dengan aturan main dan konsekuensi di dalam perahu atau kandang yang akan melindungi saya. Para nelayan-Nya dan gembalan-Nya sudah berusaha, tapi saya yang sengaja sembunyi. Belum tepat saatnya.
Hingga suatu saat, anak sulung saya sudah masuk SD. Di sekolah dia ditanya guru agamanya, ikut sekolah minggu atau tidak? Dia merengek minta ikut sekolah minggu. Kalau minta baju atau sepatu baru mungkin saya bisa membuat alasan untuk menunda. Tapi dia minta lebih dekat dengan Yesus dan saudara seimannya. Apa saya mau menolaknya juga? Bukankah dalam sakramen perkawinan saya sudah berjanji untuk mendidik anak-anak saya sesuai ajaran kristiani? Akhirnya, adiknya yang masih bayipun saya bawa ke sekolah minggu. Dan di sanalah perubahan mulai terjadi. Anak saya mendapat banyak teman seiman. Ibu-ibu yang mengantar anak-anak mereka juga begitu baik dan perhatian pada saya. Padahal selama ini saya terus cari alasan untuk menghindar dari keterlibatan saya dengan mereka. Mungkin para nelayan dan gembala-Nya sudah lelah mencari saya. Tapi Dia sendiri, GEMBALA YANG SEJATI, menggiring dan membawa saya masuk ke dalam kawanan domba-Nya melalui perantaraan anak saya sendiri. Sejak saat itu saya berniat untuk mengabdikan diri bagi sekolah minggu di lingkungan saya. Anak-anakpun tidak pernah mengeluh diajak dalam kegiatan lingkungan. Melalui kegiatan kecil itulah, tangan besar-Nya telah membimbing saya untuk pulang ke kandang-Nya yang aman dan damai. Saya sudah tidak memikirkan lagi konsekuensi dan aturan main di dalam kawanan. Kalau tenaga, waktu, pikiran, dan dana yang saya punya hanya saya serahkan demi kemuliaan nama-Nya, tak ada yang terasa berat. Dia sudah begitu baik pada saya, jadi bukankah sayapun harus baik kepada-Nya? Sungguh. LORD is my SHEPERD, and I want to follow, where ever He leads me where ever He goes. Climbing the mountain and down to valley….selarik lagu itu selalu menyemangati saya untuk terus berada di dalam kawanan.
Bapak dan Ibu pengurus lingkungan, maafkan ikan teri dan domba kecil yang bandel ini ya. Mohon dimaklumi. Waktu itu mungkin timing-nya belum tepat. Sorry, udah bikin repot. Kami sangat menghargai dan mengacungkan jempol atas kerja keras Bapak dan Ibu sekalian. Bapa di sorga yang akan membalasnya.Yesus, terimakasih Kaukembalikan aku ke dalam kawanan domba-Mu. Domba kecilmu ini tidak tersesat kok, dia hanya bersembunyi saja. Bapak, Ibu, dan saudara terkasih, jangan pernah sembunyi seperti saya ya. Setiap orang pasti punya alasan khusus dan unik kenapa belum bisa aktif di lingkungan masing-masing. Saya maklum itu karena telah mengalami sendiri. Berada dalam perahu-Nya atau tinggal di dalam kandang-Nya jauh lebih enak kok dibanding sembunyi. Bener lho. Karena pertumbuhan iman kita butuh pupuk dan air mineral dari saudara seiman kita. Menurut saya, aktif itu bukan berarti selalu hadir dalam setiap kegiatan. Tapi menjaga hubungan baik dengan anggota komunitas, ambil bagian semampu kita, dan melakukan semua itu dengan hati gembira. Jangan ragu untuk terlibat. Salam damai dalam kasih Tuhan.